Wanita paruh baya dengan dompet yang diselipkan di sela ketiaknya menggeser duduknya menjauhi saya. Begitupun dengan perempuan ayu dengan pupur di wajahnya. Saya memaklumi, barangkali kepulan asap rokok yang saya hembuskan mengganggu kedua wanita itu
Di halte yang kursinya sedang saya duduki ini, saya bersitatap dengan seorang pemuda ceking yang memakai kaus oblong hitam tanpa lengan. Pemuda itu berdiri di seberang jalan. Keberadaannya terlihat sangat mencolok dengan rambut mohawk kemerahan. Entah sengaja diwarnai, atau barangkali karena terpanggang sinar matahari. Saya melihat ia celingukan ke kanan, kiri, kemudian kanan lagi, sebelum akhirnya menyeberangi jalan.
“Bagi udud, kang.” Pemuda itu berujar setelah menempelkan pantatnya pada kursi kosong di sebelah saya. Rupanya saya yang ia ajak bicara. Wanita paruh baya dengan dompet yang terselip di sela ketiaknya berjengit, kemudian berlalu pergi sembari mendelikkan matanya pada pemuda di sebelah saya. Setelah sebelumnya ia selipkan dompet di dalam dadanya dengan takut-takut.
Saya menyodorkan sekotak rokok beserta korek api, pemuda itu mengambil sebatang dengan sumringah, lantas buru-buru menyulutnya.
“Nuhun, kang,” ujarnya seraya mengembalikan korek api kepada saya, yang saya balas hanya dengan gumaman samar.
Kepulan asap rokok kami bersahutan. Berwarna putih kelabu, melayang, seperti kabut pagi di pegunungan. Saya melirik ke arahnya, memperhatikannya dengan lamat-lamat dan singkat. Pemuda di sebelah saya ini memakai anting hitam di kedua telinganya. Celananya pipa selutut dengan sepasang kaki yang dibalut sepatu bot. Dipunggungnya tersampir sebuah ukulele coklat yang tidak mengkilap.
“Nunggu angkot, kang?” Pemuda itu bertanya kepada saya. Barangkali sebatang rokok telah menyulutnya untuk berbasa-basi.
“Nunggu bus. Kamu nunggu angkot?” Saya tanya ia sembari menghisap rokok yang tinggal separuh. Namun alih-alih menjawab, ia malah tertawa entah sebab apa. Sialan!
Saya tak mengacuhkannya lagi. Hampir saja saya bergegas pergi jika pemuda di sebelah saya tidak kembali bertanya, “Mahasiswa, kang?”
“Iya." Saya menjawab singkat.
Lagi-lagi ia tertawa. Kali ini terbahak kencang. Sampai perempuan ayu dengan pupur di wajahnya terkesiap. Perempuan ayu itu mendengus melirik kesal ke arah pemuda di sebelah saya, kemudian pergi dengan takut-takut.
“Budak édég, siah!”
Saya semburkan makian pada pemuda tengik di sebelah saya. Pantas orang-orang enggan dekat-dekat Sebab mereka waras, sedang pemuda ini tidak. Di halte ini kini hanya ada kami berdua.
Tawanya surut, kemudian ia berujar, “Melakukan Sumpah Mahasiswa Indonesia, enggak, kang? Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Berbahasa satu, bahasa kebenaran.”
Saya tak mengacuhkan ocehan pemuda di sebelah saya.
Dua remaja perempuan yang baru saja turun dari angkot bersitatap dengan kami. Mereka mengenakan seragam putih abu-abu. Salah satunya berbisik takut pada temannya. Kini tatapan mereka tertuju hanya pada pemuda di sebelah saya, tatapannya ketakutan tetapi sarat akan cemoohan. Mereka kelihatan ragu sesaat, kemudian lari terbirit-birit dengan suara teriakan yang mencicit.
Saya tertegun iba. Sedang pemuda di sebelah saya tertawa getir. “Akang nggak kocar-kacir kayak yang lain? Saya kan anomali yang ditolak sosial, kang.”
Tuturnya membuat saya bersimpati. Rasa kesal saya berangsur hilang, terganti oleh rasa kasihan yang mendominasi. Maka saya mengalah dan berujar, “Pangkas rambut yang benar, dik! Benahi penampilanmu, biar orang nggak kocar-kacir.”
“Ah, rambut akang juga nggak dipangkas dengan benar. Gondrong nggak keruan. Saya malah lebih kepingin membenahi penindasan, keadilan dan kebenaran di Indonesia, Kang.”
Saya tak kuasa menahan dengusan geli yang keluar begitu saja. Menarik sekali pemuda ini. “Kamu tahu Sumpah Mahasiswa Indonesia?”
“Ah si akang. Walau nggak sekolah, saya ini bisa baca, kang. Sumpah Mahasiswa Indonesia itu, saya sudah hafal di luar kepala, karena kakak saya menempelnya di dinding kamar kami. Kakak saya mahasiswa, kang. Dia seorang jurnalis dan orator demonstran. Tekadnya adalah membantu mengadili negeri yang pincang ini, dengan cara mengkritisi kebijakan pemerintah yang seringnya tidak pada tempatnya, salah satunya melalui tulisan dan demonstrasi.”
Pemuda itu bertutur panjang lebar. Dengan penampilannya yang mirip begundal, kata-katanya sangat rapi. Saya memperhatikannya yang sedang tercenung sedih. Kemudian, seolah tatapan kosongnya memunculkan sebuah proyeksi, ia melanjutkan ceritanya.
“Setelah pulang berdemonstasi, kakak saya pasti berbagi cerita. Dengan semangat ia menceritakan pengalamannya saat turun ke jalan. Mengkritisi kebijakan pemerintah. Habis-habisan. Membela kaum yang terdzalimi. Meluruskan keadilan. Melalui orasinya yang berapi-api, ia dan kawan-kawannya berhasil mencapai beberapa tujuan. Sampai akhirnya, kakak saya jadi buronan para petinggi yang tidak terima dikritisi. Ia sering mendapat teror, kang. Berkali-kali ibu kami memperingati, menyuruhnya untuk segera berhenti. Tapi tidak pernah sekalipun didengar oleh bocah bebal itu. Sampai akhirnya...”
Kalimatnya terhenti. Pemuda di sebelah saya menengadahkan kepala menatap langit yang digelantungi mendung, barangkali agar air matanya tidak jatuh.
Ia melanjutkan dengan suaranya yang parau. “Sampai akhirnya... suatu ketika, sepulang berdemonstrasi, ia menerima surat drop out karena dianggap mencoreng nama baik kampus."
Kalimat pemuda di sebelah saya terpotong. Ia tercekat. “Saya ingat, dengan gelagatnya yang aneh, ia berpesan pada saya bahwa jika ia pergi, saya yang harus menggantikannya turun ke jalan. Ketika itu saya menyanggupi. Dua hari setelahnya, kakak ditemukan mati dengan tubuhnya yang tergantung di langit-langit kamar. Kematiannya janggal. Saya yakin, kang. Saya yakin betul itu pembunuhan! Saya yakin ia dibunuh, kang! Kakak saya seorang yang cerdas. Dia tidak mungkin gantung diri, kang! Tidak mungkin! Para petinggi itu pasti... pasti dalangnya, kang. Kakak saya dibunuh. Mati. Dibunuh.”
Pemuda di sebelah saya menunduk terisak. Bahunya bergetar hebat. Ukulelenya terantuk pada punggungnya. Tangannya terkepal kencang. Hati saya mencelos. Sungguh, kebanyakan dari para petinggi itu tabiatnya memang bagai pantat belanga.
Pemuda di sebelah saya mengangkat kepala. Wajahnya kusut masai, matanya sembab kemerahan. Menghindari tatapan saya, ia berujar, “Maaf, kang. Saya terbawa suasana.”
Saya menepuk bahunya menyemangati. "Ibu bapakmu masih ada?”
“Ibu menyusul kakak dua bulan kemudian. Bapak saya mati di penjara. Beberapa tahun setelah saya lahir, bapak diciduk militer karena kedapatan PKI.” Ujarnya yang membuat tubuh saya kaku di tempat. Betapa kaos hidup pemuda di sebelah saya ini.
“Maaf. Saya turut berduka cita.” Ia balas dengan anggukan. Keheningan berkelindan di antara kami yang larut dalam pikiran sendiri.
“Jadi, kamu menepati janjimu dengan turun ke jalan?”
Pemuda di sebelah saya tertawa getir. “Iya, kang. Tapi bukan sebagai mahasiswa cerdas yang aksi dan orasinya mampu menegakkan keadilan, melainkan sebagai anak putus sekolah yang luntang-lantung di jalanan.”
Tuturnya membuat saya diam. Di seberang jalan, saya melihat ada beberapa orang dengan penampilan serupa pemuda di sebelah saya. Mereka bergerombol dengan kaus hitam yang ditempeli pelbagai atribut punk. Celananya pipa selutut, ada juga yang semata kaki. Ada yang pakai bot tinggi atau yang hanya sebatas mata kaki. Ada juga yang hanya mengenakan sandal jepit. Tak jauh dari gerombolan tersebut, sebuah truk menepi ke tepi jalan.
Pemuda di sebelah saya berdiri dari duduknya. Ia mengangsurkan sebuah kertas lusuh kepada saya. Saya terbengong-bengong menerimanya.
“Saya harus pergi kang. Terimakasih untuk sebatnya.”
“Iya. Kamu masih muda, dik. Terus belajar biar cerdas, biar aksi dan orasimu mampu menegakkan keadilan.”
Pemuda di sebelah saya mengangguk mantap. Kemudian ia menyeberang menuju teman-teman sejawatnya yang bergerombol naik ke atas truk.
Saya membuka lipatan kertas lusuh yang diberikannya, kemudian tersenyum penuh arti. Sebelum menaiki truk yang sudah siap di bibir jalan, pemuda yang tadi duduk di sebelah saya berseru sembari tangannya menunjuk pada lipatan kertas lusuhnya yang telah saya buka.
“Tepati sumpah mahasiswamu, kang!”
***
Behind the story:
Misuh-misuh di mata kuliah Pak Waidi; grasak-grusuk di kuliah umum kurikulum; kejang-kejang di tengah malam di puncak akhir batas pengiriman naskah.
Yah, begitulah. Called: the power of kepepet yang nggak patut ditiru.
Big thanks buat elemen-elemen yang udah terlibat di dalamnya:
Untuk Pekan Sastra, Taubatannasuha tersayang, Cibu tercinta, dan Farih juga Ela. Oh, juga untuk sesosok pemuda di benak saya, hehe. Berkat kalian, sebuah cerpen yang saaangaaat sederhana ini bisa selesai juga.