Sabtu, 19 Agustus 2017

Kemana Perginya Teriakan Itu?

Sejujurnya gue ngerasa bersalah menulis ini. Sebab, gua seolah menjadi seseorang yang udah punya pacar, tapi jatuh cintanya sama orang lain.

Tapi...

FSRD-ITB memang nggak pernah gagal untuk membuat gue jatuh cinta. Lagi, lagi, dan terus lagi. Nggak peduli betapapun gue sudah resmi menyunting kampus lain, dan nggak peduli seberapapun lamanya gue udah mengenyam ilmu di kampus itu. Tetap aja, gue jatuh cinta. Dia selalu berhasil membuat senyap di sekitar gue menjadi ramai oleh dengung-dengung yang menggairahkan. Selalu berhasil mengubah jenuh di pikiran gue menjadi sepercik semangat yang membangkitkan. Melalui kata-kata di setiap gambar bergeraknya, gue selalu berhasil dibuatnya terpana. Di setiap momen yang dia ambil, membuat gue selalu ingin ikut larut dalam atmosfirnya. Ritmenya indah. Suara-suara yang ia sampaikan, menjelma candu yang selalu membuat gue ingin ikut melagu. Warna-warnanya selaras dengan jiwa gue. Gue sungguh jatuh cinta!

Ya ampun gue lagi nggak menggombal!

Sesungguhnya ‘di sini’ gue juga berusaha mencari yang menyerupai. Lagi-lagi gue merasa bersalah. Sebab, apa yang sedang gue lakoni sekarang, sesungguhnya adalah bagian dari pencarian, ditambah gue malah merasa kecewa karena hasil pencariannya nihil. Gue sama sekali nggak menemukan atmosfir yang selama ini gue cari. Atmosfer yang gue kira akan selalu memercik keberadaan gue yang lain, yang sesungguhnya ada dalam diri gue sendiri. Atmosfer yang gue kira adalah satu-satunya cara agar gue bisa terus berlari, bukan malah bersembunyi.

Tulisan ini mungkin hanya akan berisi omong kosong tentang seseorang yang berada pada ambang batas jenuh dan kecewanya. Namun bukan terhadap apa yang menampung lakonnya, melainkan terhadap apa yang ia lakoni.

Adalah sebuah peran. Citra. Keberadaan. Yang mana membuat gue terjebak dalam lakon ini.

Dimana gue yang dulu? Kemana perginya teriakan itu?


Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggaung hiperbolis di pikiran gue. Sesaat setelah gue merasa kaku dan kikuk, mati kutu, sulit bergaul, dan kepayahan berbicara dengan yang lain. Seolah jidat gue yang lebar ini ditempeli dengan label INTROVERT besar-besar, sehingga orang lain tahu. Dan mulai menertawakan gue. Padahal nggak.

Saat di bangku sekolah dulu, gue memiliki banyak teman yang mampu menggali diri gue yang lain, dan sungguh, gue merasa sangat bersyukur akan hal itu. Gue yang kaku seperti kayu ini perlahan berubah menjadi sefleksibel karet gelang. Ke sana, ke mari. Gue nggak malu. Menyapa, berbasa-basi, bercanda, bercerita, saling melempar ejekan. Kami tertawa karena hal serupa.

Gue gemar bersuara. Berteriak lantang. Melempar guyonan. Menangis kencang. Gue berani melakukan itu semua. Sampai-sampai gue menyabet penghargaan sebagai teman konyol dari teman-teman gue. 

Gue punya obsesi tinggi untuk mengejar atmosfer gue sendiri. Yang satu di dalamnya ada gue yang lihai dalam mengubah pikiran atau gagasan menjadi sebuah frasa verbal yang dimengerti semua orang.

Lain dengan di sini.

Ketika gue tertawa, yang lain malah diam dan memandang gue heran. Ketika yang lain tertawa, gue yang malah diam nggak mengerti apa yang mereka tertawakan. Selama di sini gue jarang sekali menemukan keselarasan, yah pengecualian untuk nilai debit dan kredit yang selalu selaras di neraca saldo yang gue kerjakan sih. Hahaha.

Sesungguhnya gue sudah biasa dianggap 'lain'. Menyukai hal yang menurut mereka sudah ketinggalan jaman, menyukai kereta, menyukai musik-musik yang justru bagi anak-anak kekinian itu membosankan. Gue kadang berpikir, mungkin itu yang membuat gue jomblo sampai sekarang.

Tapi di sini, sekali lagi, gue merasa kikuk. Gue tidak ingin terlihat lain. Gue tidak ingin berbelok dan mengenakan baju kuning cerah sementara yang lain berjalan lurus dan mengenakan baju putih. Gue ingin 'nampak' seperti yang lain, bahkan gue rela jika harus berhenti menjadi diri gue sendiri yang 'lain', yang selama ini sudah susah payah gue gali. Di sini gue sadar, bahwa menjadi dewasa memang benar-benar lebih sulit daripada kalkulus dan trigonometri.

Di sini gue lebih banyak diam. Gue berubah menjadi seorang pengecut yang bahkan untuk bertanya pun merasa takut. Gue sudah terdoktrin oleh kalimat: cari tahu sendiri. Doktrin sial! Namun justru itu menguntungkan, sehingga gue bisa lebih mandiri dalam menggali segala sesuatu. Dan bukannya menggali diri gue yang lain, sebab untuk yang itu, gue butuh bantuan orang lain.

Gue nggak pernah menyalahkan orang lain yang semena-mena suka menghakimi gue beserta sikap absurd gue. Sebab gue sadar betul, bahwa gue lah yang menciptakan penghakiman-penghakiman tersebut. Gue yang menciptakan citra gue sendiri. Yang menyebabkan orang lain segan, atau bahkan enggan sama gue, ya gue sendiri. 

Tapi tetap aja, gue merindukan sisi lain gue yang nggak sembarang orang bisa menghidupkannya.

Di mana gue yang dulu?

Gue rindu.

Ke mana perginya teriakan itu?

Gue rindu.