Sabtu, 19 Agustus 2017

Kemana Perginya Teriakan Itu?

Sejujurnya gue ngerasa bersalah menulis ini. Sebab, gua seolah menjadi seseorang yang udah punya pacar, tapi jatuh cintanya sama orang lain.

Tapi...

FSRD-ITB memang nggak pernah gagal untuk membuat gue jatuh cinta. Lagi, lagi, dan terus lagi. Nggak peduli betapapun gue sudah resmi menyunting kampus lain, dan nggak peduli seberapapun lamanya gue udah mengenyam ilmu di kampus itu. Tetap aja, gue jatuh cinta. Dia selalu berhasil membuat senyap di sekitar gue menjadi ramai oleh dengung-dengung yang menggairahkan. Selalu berhasil mengubah jenuh di pikiran gue menjadi sepercik semangat yang membangkitkan. Melalui kata-kata di setiap gambar bergeraknya, gue selalu berhasil dibuatnya terpana. Di setiap momen yang dia ambil, membuat gue selalu ingin ikut larut dalam atmosfirnya. Ritmenya indah. Suara-suara yang ia sampaikan, menjelma candu yang selalu membuat gue ingin ikut melagu. Warna-warnanya selaras dengan jiwa gue. Gue sungguh jatuh cinta!

Ya ampun gue lagi nggak menggombal!

Sesungguhnya ‘di sini’ gue juga berusaha mencari yang menyerupai. Lagi-lagi gue merasa bersalah. Sebab, apa yang sedang gue lakoni sekarang, sesungguhnya adalah bagian dari pencarian, ditambah gue malah merasa kecewa karena hasil pencariannya nihil. Gue sama sekali nggak menemukan atmosfir yang selama ini gue cari. Atmosfer yang gue kira akan selalu memercik keberadaan gue yang lain, yang sesungguhnya ada dalam diri gue sendiri. Atmosfer yang gue kira adalah satu-satunya cara agar gue bisa terus berlari, bukan malah bersembunyi.

Tulisan ini mungkin hanya akan berisi omong kosong tentang seseorang yang berada pada ambang batas jenuh dan kecewanya. Namun bukan terhadap apa yang menampung lakonnya, melainkan terhadap apa yang ia lakoni.

Adalah sebuah peran. Citra. Keberadaan. Yang mana membuat gue terjebak dalam lakon ini.

Dimana gue yang dulu? Kemana perginya teriakan itu?


Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menggaung hiperbolis di pikiran gue. Sesaat setelah gue merasa kaku dan kikuk, mati kutu, sulit bergaul, dan kepayahan berbicara dengan yang lain. Seolah jidat gue yang lebar ini ditempeli dengan label INTROVERT besar-besar, sehingga orang lain tahu. Dan mulai menertawakan gue. Padahal nggak.

Saat di bangku sekolah dulu, gue memiliki banyak teman yang mampu menggali diri gue yang lain, dan sungguh, gue merasa sangat bersyukur akan hal itu. Gue yang kaku seperti kayu ini perlahan berubah menjadi sefleksibel karet gelang. Ke sana, ke mari. Gue nggak malu. Menyapa, berbasa-basi, bercanda, bercerita, saling melempar ejekan. Kami tertawa karena hal serupa.

Gue gemar bersuara. Berteriak lantang. Melempar guyonan. Menangis kencang. Gue berani melakukan itu semua. Sampai-sampai gue menyabet penghargaan sebagai teman konyol dari teman-teman gue. 

Gue punya obsesi tinggi untuk mengejar atmosfer gue sendiri. Yang satu di dalamnya ada gue yang lihai dalam mengubah pikiran atau gagasan menjadi sebuah frasa verbal yang dimengerti semua orang.

Lain dengan di sini.

Ketika gue tertawa, yang lain malah diam dan memandang gue heran. Ketika yang lain tertawa, gue yang malah diam nggak mengerti apa yang mereka tertawakan. Selama di sini gue jarang sekali menemukan keselarasan, yah pengecualian untuk nilai debit dan kredit yang selalu selaras di neraca saldo yang gue kerjakan sih. Hahaha.

Sesungguhnya gue sudah biasa dianggap 'lain'. Menyukai hal yang menurut mereka sudah ketinggalan jaman, menyukai kereta, menyukai musik-musik yang justru bagi anak-anak kekinian itu membosankan. Gue kadang berpikir, mungkin itu yang membuat gue jomblo sampai sekarang.

Tapi di sini, sekali lagi, gue merasa kikuk. Gue tidak ingin terlihat lain. Gue tidak ingin berbelok dan mengenakan baju kuning cerah sementara yang lain berjalan lurus dan mengenakan baju putih. Gue ingin 'nampak' seperti yang lain, bahkan gue rela jika harus berhenti menjadi diri gue sendiri yang 'lain', yang selama ini sudah susah payah gue gali. Di sini gue sadar, bahwa menjadi dewasa memang benar-benar lebih sulit daripada kalkulus dan trigonometri.

Di sini gue lebih banyak diam. Gue berubah menjadi seorang pengecut yang bahkan untuk bertanya pun merasa takut. Gue sudah terdoktrin oleh kalimat: cari tahu sendiri. Doktrin sial! Namun justru itu menguntungkan, sehingga gue bisa lebih mandiri dalam menggali segala sesuatu. Dan bukannya menggali diri gue yang lain, sebab untuk yang itu, gue butuh bantuan orang lain.

Gue nggak pernah menyalahkan orang lain yang semena-mena suka menghakimi gue beserta sikap absurd gue. Sebab gue sadar betul, bahwa gue lah yang menciptakan penghakiman-penghakiman tersebut. Gue yang menciptakan citra gue sendiri. Yang menyebabkan orang lain segan, atau bahkan enggan sama gue, ya gue sendiri. 

Tapi tetap aja, gue merindukan sisi lain gue yang nggak sembarang orang bisa menghidupkannya.

Di mana gue yang dulu?

Gue rindu.

Ke mana perginya teriakan itu?

Gue rindu. 

Senin, 03 Juli 2017

Balada Cuka dan Bawang Putih

Terkait judul, jangan diambil pusing ya, hehe.
Jadi gini, salah satu tujuanku membuat blog ini adalah untuk menuangkan curahan hati yang lama terpendam  berbagi hal-hal yang positif dan informatif, dan yeah, pada postingan kali ini aku akan melaksanakan tujuan tersebut.

Kali ini aku mau sharing tentang wajah. FYI, aku bukanlah seorang beauty enthusiast yaaa. Wajah yang lebih spesifik lagi ke masalah jerawat.

Duh ngomonginnya jerawat, nggak apa-apa lah ya, blog blog gue, hahaha.

Sebelumnya wajahku nggak pernah jerawatan, sampai-sampai aku kebingungan. Sering banget kalau ada orang yang bilang, "Shin, mukelo nggak pernah jerawatan ya!", aku malah khawatir, jangan-jangan wajahku punya kelainan, atau yang lebih parah lagi hormonku nggak seimbang, akhirnya sering banget juga aku bilang, "Suka jerawatan, kok!" Dalam hati yang terdalam aku jadi pengen banget jerawatan. Which is itu oon banget menurutku!

Pada akhirnya, jerawat pun muncul satu per satu. Awalnya aku senang, tapi lama kelamaan jadi bingung, gimana coba cara mengatasi jerawat dengan baik dan benar? Banyak nasihat dan saran dari teman-teman, dari membiarkan, mengobati, sampai memencet! Aku yang saat itu masih polos dan kiyut, memilih opsi yang ketiga: MEMENCET! Rasanya sakit bukan main, tapi kelegaan yang luar biasa membanjiriku sesaat setelah jerawat yang dipencet tersebut keluar mata berwarna putih yang berbarengan dengan nanah dan darah. Mantap abiz!

Teman-teman yang baik hatinya, memencet jerawat bukanlah pilihan yang bijak. It is doens't work. At all.

Cerita berlanjut...
Sekitar tanggal belasan April 2016 lalu, seorang teman yang berulang tahun berbagi rezekinya dengan mengajak makan gratis. Anak kosan mana bisa nolak coba! Nah pada saat itu, di wajahku ada sekitar 2 jerawat dengan satu jerawat yang lumayan besar di pipi. Saat itu ada salah satu teman yang mempertanyakan kenapa aku jerawatan, katanya dia heran. Dia aja heran, apalagi gue coba!

Aku tahu betul temanku itu orangnya sangat teramat peduli, akhirnya dia menyarankan, "Coba deh kamu pakai bawang putih sama cuka." Kemudian aku menimpali, "Bisa ya buat jerawat? Diapain tuh?". Dia pun menjelaskan, "Bisa! Aku kalau jerawatan juga pake itu. Bawang putih ditumbuk terus campurin cuka."

Aku bersenandika dalam hati, "Eh dia juga pernah jerawatan? Wah kalo muka dia sekarang bersih, berarti works dong!"

Keesokan harinya aku pun menjalankan saran tersebut.

Ambil mangkuk, gerus bawang putih pakai sendok makan, tetesein cuka, aduk-aduk, dan tempelin ke jerawat!

Rasanya... subhanallah... perih, panas, sakit, celekat-celekit,  jlenat-jlenot, ya Allah it's too hard to describe :')))

Aku pede-pede aja sih, dengan beranggapan bahwa itu adalah reaksi yang baik. Aku mencoba menikmati setiap detik dari rasa perih bercampur panas dan sakit tersebut, sampai-sampai ketiduran di lantai kamar kosan.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar, ternyata ada teman yang mau pinjam catatan. Aku bangun dari tidur dan melepas si campuran bawang putih dan cuka tadi yang ternyata masih menempel, tentunya dengan harapan jerawat bisa sembuh. Saat temanku masuk kamar dan melihat wajahku, dia malah kaget. Kalimat pertama yang dia lontarkan itu, "Mukamu KENAPA?!"

Aku yang kebingungan saat itu langsung mengambil kaca dan ternyata semakin kebingungan lihat wajah sendiri.

Hasilnya: MELEPUH PARAH!

Bagian wajah yang aku kasih campuran cuka dan bawang putih itu berubah jadi luka seperti kena knalpot. Merah pekat dan berair. Sedih banget.

Pada detik itu juga aku merasa sangat gagal menjadi anak IPA selama di bangku SMA. Padahal dari SMP pun sudah dikasih pengertian tentang apa itu asam dan basa, juga sifat-sifatnya. Cuka itu termasuk asam, dan dia itu bersifat korosif. Juga bawang putih, dia kan panas, tapi kenapa aku nemplokin itu di jerawat ya?

Insiden itu menjadi salah satu duka penyesalan yang paling dalam.

Nah, teman-teman yang budiman, hal tersurat yang ingin aku sampaikan, pertama, yaitu kita harus mensyukuri apa adanya fisik kita. Sebenarnya kita butuh sih mengupgrade fisik kita, contohnya ketika kalian diputusin sama pacar, eh ambil contoh yang lain deh, contohnya ketika kalian mulai pubertas, pasti dalam masing-masing hati kalian ingin mengupgrade fisik agar lebih baik, bisa dengan pola hidup yang benar, perawatan, dan lain-lain. Tapi yang ingin aku tekankan di sini, kalian nggak perlu lah try so hard gitu, apalagi ingin rusak ketika sudah baik, ketahuilah, itu oon!

Kedua, yaitu jangan bertindak impulsif! Manusia kan dikasih otak untuk berfikir dan hati untuk berperasaan, kedua hal tersebut harus digunakan secara seimbang. Mengerjakan sesuatu pun harus dengan alasan yang tepat. Kalau ingin lebih ilmiah, ya harus dikaji dulu.

Ketiga, yaitu, please ya bagi kalian yang jerawatan, jangan pakai cuka dan bawang putih untuk menyembuhkan jerawat kalian. Bahaya!

***

Niatnya sih cerita ini akan dicukupkan sampai sini, karena mengingat kejadian itu membuat rasa penyesalannya naik lagi ke ulu hati.

Tapi, barangkali ada yang bertanya-tanya bagaimana kelanjutannya, keep on reading!

Setelah tahu hasilnya luar biasa gagal, aku langsung panik bukan kepalang. Aku menceritakan kronologi kejadian dari awal pada temanku itu. Diujung cerita masih sempat-sempatnya aku bilang, "Kamu jangan bilang ke dia ya aku kayak gini gara-gara ikutin saran dia." Dan aku bertanya-tanya hingga sekarang, dalam kondisi apapun, kenapa masih saja orang lain yang aku pikirkan?

Karena aku takut salah lagi dalam mengambil tindakan, maka aku putuskan untuk menghubungi ibu. Ibu ikut panik. Kentara sekali dengan nadanya yang naik beberapa oktaf dan diselingi dengan, "Astaghfirullah... Allahu Akbar... Subhanallah... KOK  BISA?!", yang berulang-ulang kudengar di telefon. Sampai-sampai ketika beberapa hari kemudian aku pulang ke rumah, hampir semua tetanggaku tahu bahwa wajahku melepuh. 

"Ceunah beungeutna melepuh, heuh?", atau, "Rarayna melepuh kunaon?", hilir mudik hinggap di indera pendengaranku ketika di rumah atau di jalan mau ke warung.

The power of ibu :')))

Ohya sekedar informasi, cuka yang aku gunakan itu cuka bakso, dan katanya cuka yang disarankan itu ternyata cuka apel. Ya Allah, napa dia nggak bilang yak? *astaghfirullahdilarangmengumpat*. 

Aku mengobati luka tersebut dengan salep Bioplacenton (yang kalau diinget sampai sekarang dari mana dapat salep tersebut, masih suka terharu, hahaha baper banget ya!). Salep itu efeknya bikin kalem luka dan bikin kering mengelupas gitu. Nah ketika lukanya sudah kering, aku ganti obatnya pakai Minyak Tawon, and it's work! Alhamdulillah lukanya sembuh dan bekasnya berangsur-angsur hilang.

Tapi... the biggest effect-nya yaitu wajahku berubah jadi acne-prone yang akhirnya gampang banget jerawatan.

Oke, info terakhir mungkin nggak penting. Because everyone has different skin types.

Semoga bermanfaat!

Selasa, 30 Mei 2017

Jangan Hidup Seperti Angka Sembilan

Rintik hujan di malam Ramadhan membawa sendu yang membuat pikiranku melompat-lompati waktu. Jauh ke belakang, waktu di mana aku masih mengenakan seragam putih abu. Duduk di kelas XII IPA 2, dikelilingi tigapuluh tujuh makhluk yang uniknya bukan kepalang. Bu Jenimah, guru pelajaran sejarah sedang menerangkan materi sembari mengajak kami berinteraksi.

Bu Jen, begitu panggilan akrab kami, seringkali menceritakan kisah-kisah hidupnya yang menginspirasi. Beliau adalah salah satu guru yang tata bahasanya aku kagumi. Bahkan seringnya aku malah mencatat nasihat yang beliau berikan, dan bukannya materi yang beliau terangkan. Aku bukan penggemar pelajaran sejarah, tapi jelas, aku adalah penggemar Bu Jenimah.

Suatu hari, beliau meminta salah satu dari kami untuk maju ke depan. "Tuliskan angka empat," begitu kata beliau.

Aku, yang sedari dulu memang terkena sindrom 'takut angkat tangan', bergeming. Padahal pikiranku menggelitik penasaran, dan berkata, "Ayo Shindy, maju. Kalau diam kamu nggak akan tau." Namun aku abaikan.

Akhirnya, satu temanku maju, entah karena refleks, iseng, atau mengikuti pikirannya yang penasaran sepertiku. Ia menuliskan angka empat di papan tulis.


Empat miliknya mirip seperti empat yang ada di pikiranku. Jika aku yang maju untuk menuliskan angka empat pun, angka empat seperti itu yang akan aku tulis.

Bu Jen diam sembari tersenyum dengan khasnya. "Ada lagi yang lain? Coba tulis angka empat lagi."

Saat itu pikiranku mengetuk-ngetuk penasaran. Apa sebenarnya yang ingin Bu Jen sampaikan lewat maksudnya menyuruh kami menuliskan angka empat lagi?

Walau pikiranku riuh, aku tetap bergeming.

Satu temanku maju, Yohana namanya, ia menuliskan angka empat.


Aku sama sekali tak menanggapi angka empat yang Yohana tulis, sebab, itu bukan seperti angka empatku. Namun lain halnya dengan Bu Jen, beliau langsung merespon dengan berkata, "Beginilah yang disukai kebanyakan orang. Terbuka. Berbeda dengan angka empat sebelumnya yang tertutup." Kemudian beliau menceritakan suatu kaum yang menyenangi angka empat, entah seperti apa, aku tidak ingat detailnya.

Bu Jen akhirnya menceritakan filosofi angka delapan, dengan satu garis yang tidak putus. Angka delapan juga digemari, sebab, dianggap melambangkan sesuatu yang seimbang; sama besar (adil); dan tidak akan pernah terputus.

Pikiranku berkata, "Ah, sayangnya angka delapan bukan angka favorit. Angka empatku pun tidak terbuka. Aku lebih menyukai angka sembilan, apa ya filosofinya?"

Bu Jen menjawabnya, "Coba lihat angka sembilan," ujarnya sembari menuliskan angka sembilan. "Kepalanya besar, tapi badannya kecil," begitu kata beliau.

Aku berpikir. Bergeming.

"Jangan hidup seperti angka sembilan, seperti orang yang terlalu banyak berpikir, tapi actionnya nihil," lanjut Bu Jenimah.

Aku masih berpikir. Masih bergeming.







Rabu, 08 Februari 2017

Pemuda di Sebelah Saya (Sebuah Cerpen untuk Pekan Sastra)

Matahari menyeruak di sela mendung yang menggantung. Mencipta udara lembab yang janggal. Sejuk. Namun panas. Membikin gerah. Saya menyulut sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam hingga nikotin dan tar melebur dalam satu konfiks yang disebut kenikmatan.

Wanita paruh baya dengan dompet yang diselipkan di sela ketiaknya menggeser duduknya menjauhi saya. Begitupun dengan perempuan ayu dengan pupur di wajahnya. Saya memaklumi, barangkali kepulan asap rokok yang saya hembuskan mengganggu kedua wanita itu

Di halte yang kursinya sedang saya duduki ini, saya bersitatap dengan seorang pemuda ceking yang memakai kaus oblong hitam tanpa lengan. Pemuda itu berdiri di seberang jalan. Keberadaannya terlihat sangat mencolok dengan rambut mohawk kemerahan. Entah sengaja diwarnai, atau barangkali karena terpanggang sinar matahari. Saya melihat ia celingukan ke kanan, kiri, kemudian kanan lagi, sebelum akhirnya menyeberangi jalan.

 “Bagi udud, kang.” Pemuda itu berujar setelah menempelkan pantatnya pada kursi kosong di sebelah saya. Rupanya saya yang ia ajak bicara. Wanita paruh baya dengan dompet yang terselip di sela ketiaknya berjengit, kemudian berlalu pergi sembari mendelikkan matanya pada pemuda di sebelah saya. Setelah sebelumnya ia selipkan dompet di dalam dadanya dengan takut-takut.

Saya menyodorkan sekotak rokok beserta korek api, pemuda itu mengambil sebatang dengan sumringah, lantas buru-buru menyulutnya.

Nuhun, kang,” ujarnya seraya mengembalikan korek api kepada saya, yang saya balas hanya dengan gumaman samar.

Kepulan asap rokok kami bersahutan. Berwarna putih kelabu, melayang, seperti kabut pagi di pegunungan. Saya melirik ke arahnya, memperhatikannya dengan lamat-lamat dan singkat. Pemuda di sebelah saya ini memakai anting hitam di kedua telinganya. Celananya pipa selutut dengan sepasang kaki yang dibalut sepatu bot. Dipunggungnya tersampir sebuah ukulele coklat yang tidak mengkilap.

“Nunggu angkot, kang?” Pemuda itu bertanya kepada saya. Barangkali sebatang rokok telah menyulutnya untuk berbasa-basi.

“Nunggu bus. Kamu nunggu angkot?” Saya tanya ia sembari menghisap rokok yang tinggal separuh. Namun alih-alih menjawab, ia malah tertawa entah sebab apa. Sialan!

Saya tak mengacuhkannya lagi. Hampir saja saya bergegas pergi jika pemuda di sebelah saya tidak kembali bertanya, “Mahasiswa, kang?”

“Iya." Saya menjawab singkat.

Lagi-lagi ia tertawa. Kali ini terbahak kencang. Sampai perempuan ayu dengan pupur di wajahnya terkesiap. Perempuan ayu itu mendengus melirik kesal ke arah pemuda di sebelah saya, kemudian pergi dengan takut-takut.

Budak édég, siah!

Saya semburkan makian pada pemuda tengik di sebelah saya. Pantas orang-orang enggan dekat-dekat Sebab mereka waras, sedang pemuda ini tidak. Di halte ini kini hanya ada kami berdua.

Tawanya surut, kemudian ia berujar, “Melakukan Sumpah Mahasiswa Indonesia, enggak, kang? Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Berbahasa satu, bahasa kebenaran.”

Saya tak mengacuhkan ocehan pemuda di sebelah saya.

Dua remaja perempuan yang baru saja turun dari angkot bersitatap dengan kami. Mereka mengenakan seragam putih abu-abu. Salah satunya berbisik takut pada temannya. Kini tatapan mereka tertuju hanya pada pemuda di sebelah saya, tatapannya ketakutan tetapi sarat akan cemoohan. Mereka kelihatan ragu sesaat, kemudian lari terbirit-birit dengan suara teriakan yang mencicit.

Saya tertegun iba. Sedang pemuda di sebelah saya tertawa getir. “Akang nggak kocar-kacir kayak yang lain? Saya kan anomali yang ditolak sosial, kang.”

Tuturnya membuat saya bersimpati. Rasa kesal saya berangsur hilang, terganti oleh rasa kasihan yang mendominasi. Maka saya mengalah dan berujar, “Pangkas rambut yang benar, dik! Benahi penampilanmu, biar orang nggak kocar-kacir.”

“Ah, rambut akang juga nggak dipangkas dengan benar. Gondrong nggak keruan. Saya malah lebih kepingin membenahi penindasan, keadilan dan kebenaran di Indonesia, Kang.”

Saya tak kuasa menahan dengusan geli yang keluar begitu saja. Menarik sekali pemuda ini. “Kamu tahu Sumpah Mahasiswa Indonesia?”

“Ah si akang. Walau nggak sekolah, saya ini bisa baca, kang. Sumpah Mahasiswa Indonesia itu, saya sudah hafal di luar kepala, karena kakak saya menempelnya di dinding kamar kami. Kakak saya mahasiswa, kang. Dia seorang jurnalis dan orator demonstran. Tekadnya adalah membantu mengadili negeri yang pincang ini, dengan cara mengkritisi kebijakan pemerintah yang seringnya tidak pada tempatnya, salah satunya melalui tulisan dan demonstrasi.”

Pemuda itu bertutur panjang lebar. Dengan penampilannya yang mirip begundal, kata-katanya sangat rapi. Saya memperhatikannya yang sedang tercenung sedih. Kemudian, seolah tatapan kosongnya memunculkan sebuah proyeksi, ia melanjutkan ceritanya.

“Setelah pulang berdemonstasi, kakak saya pasti berbagi cerita. Dengan semangat ia menceritakan pengalamannya saat turun ke jalan. Mengkritisi kebijakan pemerintah. Habis-habisan. Membela kaum yang terdzalimi. Meluruskan keadilan. Melalui orasinya yang berapi-api, ia dan kawan-kawannya berhasil mencapai beberapa tujuan. Sampai akhirnya, kakak saya jadi buronan para petinggi yang tidak terima dikritisi. Ia sering mendapat teror, kang. Berkali-kali ibu kami memperingati, menyuruhnya untuk segera berhenti. Tapi tidak pernah sekalipun didengar oleh bocah bebal itu. Sampai akhirnya...”

Kalimatnya terhenti. Pemuda di sebelah saya menengadahkan kepala menatap langit yang digelantungi mendung, barangkali agar air matanya tidak jatuh.

Ia melanjutkan dengan suaranya yang parau. “Sampai akhirnya... suatu ketika, sepulang berdemonstrasi, ia menerima surat drop out karena dianggap mencoreng nama baik kampus."

Kalimat pemuda di sebelah saya terpotong. Ia tercekat. “Saya ingat, dengan gelagatnya yang aneh, ia berpesan pada saya bahwa jika ia pergi, saya yang harus menggantikannya turun ke jalan. Ketika itu saya menyanggupi. Dua hari setelahnya, kakak ditemukan mati dengan tubuhnya yang tergantung di langit-langit kamar. Kematiannya janggal. Saya yakin, kang. Saya yakin betul itu pembunuhan! Saya yakin ia dibunuh, kang! Kakak saya seorang yang cerdas. Dia tidak mungkin gantung diri, kang! Tidak mungkin! Para petinggi itu pasti... pasti dalangnya, kang. Kakak saya dibunuh. Mati. Dibunuh.”

Pemuda di sebelah saya menunduk terisak. Bahunya bergetar hebat. Ukulelenya terantuk pada punggungnya. Tangannya terkepal kencang. Hati saya mencelos. Sungguh, kebanyakan dari para petinggi itu tabiatnya memang bagai pantat belanga.

Pemuda di sebelah saya mengangkat kepala. Wajahnya kusut masai, matanya sembab kemerahan. Menghindari tatapan saya, ia berujar, “Maaf, kang. Saya terbawa suasana.”

Saya menepuk bahunya menyemangati. "Ibu bapakmu masih ada?”

“Ibu menyusul kakak dua bulan kemudian. Bapak saya mati di penjara. Beberapa tahun setelah saya lahir, bapak diciduk militer karena kedapatan PKI.” Ujarnya yang membuat tubuh saya kaku di tempat. Betapa kaos hidup pemuda di sebelah saya ini.

“Maaf. Saya turut berduka cita.” Ia balas dengan anggukan. Keheningan berkelindan di antara kami yang larut dalam pikiran sendiri.

“Jadi, kamu menepati janjimu dengan turun ke jalan?”

Pemuda di sebelah saya tertawa getir. “Iya, kang. Tapi bukan sebagai mahasiswa cerdas yang aksi dan orasinya mampu menegakkan keadilan, melainkan sebagai anak putus sekolah yang luntang-lantung di jalanan.”

Tuturnya membuat saya diam. Di seberang jalan, saya melihat ada beberapa orang dengan penampilan serupa pemuda di sebelah saya. Mereka bergerombol dengan kaus hitam yang ditempeli pelbagai atribut punk. Celananya pipa selutut, ada juga yang semata kaki. Ada yang pakai bot tinggi atau yang hanya sebatas mata kaki. Ada juga yang hanya mengenakan sandal jepit. Tak jauh dari gerombolan tersebut, sebuah truk menepi ke tepi jalan.

Pemuda di sebelah saya berdiri dari duduknya. Ia mengangsurkan sebuah kertas lusuh kepada saya. Saya terbengong-bengong menerimanya.

“Saya harus pergi kang. Terimakasih untuk sebatnya.”

“Iya. Kamu masih muda, dik. Terus belajar biar cerdas, biar aksi dan orasimu mampu menegakkan keadilan.”

Pemuda di sebelah saya mengangguk mantap. Kemudian ia menyeberang menuju teman-teman sejawatnya yang bergerombol naik ke atas truk.

Saya membuka lipatan kertas lusuh yang diberikannya, kemudian tersenyum penuh arti. Sebelum menaiki truk yang sudah siap di bibir jalan, pemuda yang tadi duduk di sebelah saya berseru sembari tangannya menunjuk pada lipatan kertas lusuhnya yang telah saya buka.

“Tepati sumpah mahasiswamu, kang!”




***


Behind the story:
Misuh-misuh di mata kuliah Pak Waidi; grasak-grusuk di kuliah umum kurikulum; kejang-kejang di tengah malam di puncak akhir batas pengiriman naskah.
Yah, begitulah. Called: the power of kepepet yang nggak patut ditiru.

Big thanks buat elemen-elemen yang udah terlibat di dalamnya:
Untuk Pekan Sastra, Taubatannasuha tersayang, Cibu tercinta, dan Farih juga Ela. Oh, juga untuk sesosok pemuda di benak saya, hehe. Berkat kalian, sebuah cerpen yang saaangaaat sederhana ini bisa selesai juga.