Selasa, 30 Mei 2017

Jangan Hidup Seperti Angka Sembilan

Rintik hujan di malam Ramadhan membawa sendu yang membuat pikiranku melompat-lompati waktu. Jauh ke belakang, waktu di mana aku masih mengenakan seragam putih abu. Duduk di kelas XII IPA 2, dikelilingi tigapuluh tujuh makhluk yang uniknya bukan kepalang. Bu Jenimah, guru pelajaran sejarah sedang menerangkan materi sembari mengajak kami berinteraksi.

Bu Jen, begitu panggilan akrab kami, seringkali menceritakan kisah-kisah hidupnya yang menginspirasi. Beliau adalah salah satu guru yang tata bahasanya aku kagumi. Bahkan seringnya aku malah mencatat nasihat yang beliau berikan, dan bukannya materi yang beliau terangkan. Aku bukan penggemar pelajaran sejarah, tapi jelas, aku adalah penggemar Bu Jenimah.

Suatu hari, beliau meminta salah satu dari kami untuk maju ke depan. "Tuliskan angka empat," begitu kata beliau.

Aku, yang sedari dulu memang terkena sindrom 'takut angkat tangan', bergeming. Padahal pikiranku menggelitik penasaran, dan berkata, "Ayo Shindy, maju. Kalau diam kamu nggak akan tau." Namun aku abaikan.

Akhirnya, satu temanku maju, entah karena refleks, iseng, atau mengikuti pikirannya yang penasaran sepertiku. Ia menuliskan angka empat di papan tulis.


Empat miliknya mirip seperti empat yang ada di pikiranku. Jika aku yang maju untuk menuliskan angka empat pun, angka empat seperti itu yang akan aku tulis.

Bu Jen diam sembari tersenyum dengan khasnya. "Ada lagi yang lain? Coba tulis angka empat lagi."

Saat itu pikiranku mengetuk-ngetuk penasaran. Apa sebenarnya yang ingin Bu Jen sampaikan lewat maksudnya menyuruh kami menuliskan angka empat lagi?

Walau pikiranku riuh, aku tetap bergeming.

Satu temanku maju, Yohana namanya, ia menuliskan angka empat.


Aku sama sekali tak menanggapi angka empat yang Yohana tulis, sebab, itu bukan seperti angka empatku. Namun lain halnya dengan Bu Jen, beliau langsung merespon dengan berkata, "Beginilah yang disukai kebanyakan orang. Terbuka. Berbeda dengan angka empat sebelumnya yang tertutup." Kemudian beliau menceritakan suatu kaum yang menyenangi angka empat, entah seperti apa, aku tidak ingat detailnya.

Bu Jen akhirnya menceritakan filosofi angka delapan, dengan satu garis yang tidak putus. Angka delapan juga digemari, sebab, dianggap melambangkan sesuatu yang seimbang; sama besar (adil); dan tidak akan pernah terputus.

Pikiranku berkata, "Ah, sayangnya angka delapan bukan angka favorit. Angka empatku pun tidak terbuka. Aku lebih menyukai angka sembilan, apa ya filosofinya?"

Bu Jen menjawabnya, "Coba lihat angka sembilan," ujarnya sembari menuliskan angka sembilan. "Kepalanya besar, tapi badannya kecil," begitu kata beliau.

Aku berpikir. Bergeming.

"Jangan hidup seperti angka sembilan, seperti orang yang terlalu banyak berpikir, tapi actionnya nihil," lanjut Bu Jenimah.

Aku masih berpikir. Masih bergeming.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar